tulisan ini juga dapat dibaca pada blog saya yang lain
(klik).
Sabtu, 12 Januari 2013
Jumat, 11 Januari 2013
Sosial Budaya dalam Praktik Perawatan Kehamilan dan Persalinan PART II
5. Deskripsi kondisi sosial budaya
setempat
Masyarakat memiliki kebudayaan yang mencakup aturan –
aturan, norma – norma, pandangan hidup yang dijadikan acuan dalam mengatur
perilaku kehidupan bermasyarakat. Pada masyarakat Jawa yang menganut pola garis
keturunan patrilineal maka dalam adat kebiasaan keluarga, peranan suami
/ ayah sangat berpengaruh. ayah / suami sebagai kepala rumah tangga adalah
perantara dalam penentuan nasib termasuk yang menguasai sumber-sumber ekonomi
keluarga (Herkovits dalam Susilowati, 2001).
Dalam masyarakat Jawa, kehamilan (dan kemudian
kelahiran bayi) merupakan peristiwa yang penting dalam siklus hidup manusia.
Oleh karena itu ibu dan keluarga melakukan serangkaian aktivitas ritual untuk
menyambutnya. Faktor kekerabatan (suami, orang tua, nenek) masih memberikan
peran yang penting dalam tindakan-tindakan si ibu berkaitan dengan kehamilan,
persalinan dan pasca persalinan, baik dalam memberikan nasehat (karena mereka
sudah berpengalaman menjalani peristiwa tersebut) maupun pengambilan keputusan
siapa penolong persalinan dan sarana pelayanan apakah yang akan
dipergunakan.
Selama kehamilan, biasanya ibu akan melakukan berbagai
upaya agar bayi dan ibunya sehat dan dapat bersalin dengan selamat, nor- mal
dan tidak cacat. Sebagian masyarakat masih berpantang makan makanan tertentu
seperti udang atau kepiting dan buah nanas, walaupun menurut kesehatan
pantangan makanan tertentu tidak dibenarkan apalagi kalau makanan tersebut
bergizi. Selama kehamilan juga ada pantangan yang harus diperhatikan ibu dan
bapak misal: tidak boleh menyiksa atau membunuh binatang dan tidak boleh
mengejek orang yang cacat supaya si bayi dapat lahir dengan selamat dan
tidak cacat. Terutama keluarga dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi,
seiring dengan kemajuan jaman sudah banyak yang tidak mempercayainya begitu
juga dengan sebagian responden penelitian.
Informan/ responden dari tokoh masyarakat, tokoh agama
dan PLKB menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat masih memperingati
upacara 7 bulan bayi dalam kandungan khususnya bagi anak pertama, termasuk
sebagian besar responden ibu yang telah diwawancarai. Di daerah lain pada suku
Jawa upacara tersebut disebut mitoni, sedangkan di Kabupaten Jepara
disebut munari. Munari merupakan upacara selamatan dengan nasi tumpeng
yang puncaknya adalah nasi ketan berwarna kuning yang diibaratkan cahaya
sebagai simbol bahwa pada usia kehamilan ketujuh si janin sudah mempunyai roh
atau nyawa. Acara munari ini seringkali dilengkapi dengan upacara seperti
halnya mitoni yaitu si ibu ganti kain tujuh kali, memecahkan kelapa gading yang
berukir gambar tokoh wayang Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih (dua dewa / dewi
dalam pewayangan yang terkenal ketampanan dan kecantikannya) dengan harapan si
bayi nantinya akan tampan seperti Dewa Kamajaya dan cantik seperti DewiKamaratih. Upacara ini seringkali dipimpin oleh dukun bayi atau orang yang
dituakan di dalam keluarga tersebut. Di dalam upacara tersebut suami harus
terlibat dalam rangkaian upacara.
Keterlibatan/ partisipasi suami selama masa
kehamilan istri cukup besar baik dalam bentuk aktivitas mengantar istri
memeriksakan kandungan ke bidan / dokter, berusaha memenuhi keinginan istri
yang sedang nyidam maupun mengingatkan agar istrinya lebih banyak makan makanan
yang bergizi. Para suami terutama yang berpendidikan cukup tinggi cenderung
melarang bila istrinya berpantang makanan tertentu. Menurut pandangan mereka,
sepanjang yang dimakan ibu hamil memenuhi kriteria sehat dan bergizi baik untuk
ibu dan bayi maka tidak dibenarkan untuk berpantang walaupun pada masyarakat
sekitar masih berlaku pantangan makan makanan tertentu atau bertingkah laku
tertentu pada saat istrinya hamil.
Muis (1996) dalam penelitiannya di Kota Semarang
menyebutkan bahwa para orang tua/ mertua sangat berperan dalam menentukan,
menasehati dan menyarankan anaknya/ menantunya untuk periksa hamil pada bidan
atau memilih dukun bayi sebagai penolong persalinan. Sutrisno (1997)
dalam penelitiannya di Kabupaten Purworejo juga mengungkapkan bahwa suami,
orang tua dan mertua adalah anggota kelompok referensi yang paling sering
memberikan anjuran memilih tenaga penolong persalinan. Susilowati (2001)
dalam penelitiannya di Kabupaten Semarang juga menemukan bahwa suami sangat
dominan dalam pengambilan keputusan rumah tangga sehari-hari, tetapi dalam
menentukan penolong persalinan dan tempat bersalin yang dominan adalah orang
tua dan mertua. Pada saat menghadapi masalah medis persalinan masih diperlukan
musyawarah keluarga untuk merujuk ibu bersalin ke rumah sakit.
Menurut responden tokoh masyarakat dan tokoh agama,
kelahiran bayi adalah suatu peristiwa yang perlu dirayakan dengan upacara
tertentu. Masyarakat Kabupaten Jepara yang mayoritas beragama Islam biasa
melakukan serangkaian acara mulai dari pembacaan adzan pada telinga
kanan bayi sesaat setelah kelahirannya, dilanjutkan dengan pencucian plasenta
bayi atau ari-ari, diberi doa dan dan dimasukkan dalam wadah
tertutup dari tanah liat dan diberi kembang telon (bunga tiga warna) dan
dikuburkan di depan rumah/ teras serta diterangi sentir/ teplok
(lampu minyak) pada malam hari. Pelaku dari semua upacara ini adalah suami
dari istri yang baru saja melahirkan. Berdasarkan pengamatan di depan rumah
beberapa rumah responden ,yang kebetulan baru beberapa hari melahirkan,
terdapat gundukan tanah yang ditutupi dengan pagar dari bambu dan diberi lampu
minyak dan mereka menjelaskan bahwa plasenta bayi telah mereka kuburkan di
situ.
Di daerah Jepara dikenal upacara krayanan atau brokohan
atau selapanan yaitu upacara pada saat bayi berusia 35 hari untuk
memberi nama bayi dengan cara berdoa bersama dan bancakan atau selamatan
dengan nasi urap / sego gudangan rambanan reno pitu .
Bersamaan dengan upacara krayanan tersebut juga diadakan upacara adat walikan
atau resikan. Upacara ini lebih ditujukan untuk si ibu bayi
karena sudah selesai menjalani masa nifas dan siap untuk melayani suaminya
kembali. Pada saat selamatan itu si ibu dirias secantik mungkin. Di dalam
upacara ini kehadiran dukun bayi juga penting, terutama bila mereka yang menolong
kelahiran bayinya.
Menurut responden, dukun bayi dirasakan
mempunyai beberapa kelebihan disbanding bidan / dokter yaitu dukun bayi mampu
memberikan pelayanan yang paripurna mulai dari menolong persalinan sampai
memimpin upacara kelahiran bayi. Dukun bayi juga siap setiap saat dibutuhkan,
memberikan rasa nyaman dan aman karena mereka kebanyakan dituakan, begitu juga
hubungan kekeluargaan membuat kehadiran dukun bayi dalam hal tertentu sulit
digantikan oleh bidan. Kepala Puskesmas dan bidan serta PLKB yang
diwawancarai menyadari bahwa dukun bayi masih dibutuhkan oleh masyarakat, oleh
karena itu program pelatihan dukun bayi dan pembinaan serta pendampingan oleh
bidan Puskesmas merupakan program yang terus dijalankan. Di sisi lain mereka
mengupayakan peningkatan peran bidan dan bidan di desa (BDD) tetapi
mengusahakan agar tidak lahir dukun bayi baru karena adanya target cakupan
tertentu dari ANC dan persalinan oleh tenaga kesehatan serta eliminasi
tetanus neonatorum (ETN) yang harus diupayakan menjadi angka nol.
Pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak bersih dan steril merupakan
salah satu penyebab utama adanya tetanus neonatorum. Dukun yang belum
dilatih seringkali melakukan pemotongan dan perawatan tali pusat secara tidak
higienis seperti diberi kunyit atau apu (kapur gamping yang basah),
tetapi saat ini hal tersebut hampir tidak pernah ditemui karena semua dukun
bayi di desa lokasi penelitian sudah dilatih oleh Puskesmas.
Nuansa Islam yang cukup kuat mewarnai adat dengan
adanya upacara kekahan atau aqiqah yaitu ungkapan rasa bersyukur
pada Tuhan YME atas anugerah anak dan sebagai salah satu kewajiban orang tua
dalam ajaran Islam terhadap anaknya. Pada acara kekahan ini untuk anak
laki-laki akan disembelih dua ekor kambing, sedangkan bila anak perempuan cukup
satu ekor kambing. Daging yang sudah dimasak dibagikan kepada para tamu dan
tetangga.Adat kekahan tidak mesti harus segera dilakukan setelah bayi lahir
tetapi bisa sampai dengan menjelang remaja. Kekahan biasanya dilakukan oleh
keluarga yang cukup mampu.
Perilaku positif lainnya yang masih dijalankan seperti
halnya kebiasaan para ibu dari suku Jawa setelah melahirkan yaitu kebiasaan
minum jamu dengan tujuan agar ASI mereka lancar serta untuk menjaga
kesehatan dan kebugaran ibu. Jamu wejah diminum agar ASI lancar dan jamu
beras kencur agar badan tidak terasa capek dan jamu pilis yang
ditempelkan di dahi agar kepala terasa ringan dan tidak pusing. Selama masa
nifas ada pantangan berhubungan seksual. Hal positif ini sejalan dengan
kesehatan dan larangan dalam agama Islam yang mayoritas mereka anut.
Perilaku yang kurang mendukung selama masa nifas
yaitu pantang makanan tertentu yang lebih dikaitkan dengan si bayi antara lain
agar ASI tidak berbau amis antara lain daging dan ikan laut. Kebiasaan kurang
baik lainnya yang masih ada yaitu bayi digedhong atau membungkus bayi
dengan jarik (kain batik pelengkap busana kebaya) agar bayi hangat dan
diam. Bila hal ini dilakukan terus menerus akan berpengaruh pada aktivitas bayi
dan pertumbuhan tulangnya.
Apabila bayi lahir cacat (bibir sumbing) atau bayi
lahir dengan sungsang yang dahulu seringkali dikaitkan dengan kesalahan masa
lalu orang tuanya atau orang tuanya melanggar pantangan tertentu maka sebagian
besar responden menganggap hal tersebut tidak benar. Bayi lahir sungsang atau
bibir bayi sumbing mereka percayai semata-mata karena masalah kesehatan.
SIMPULAN
Praktik perawatan kehamilan, persalinan bayi dan nifas di lokasi penelitian telah banyak mendukung upaya kesehatan reproduksi antara lain: periksa hamil. Bidan adalah pilihan pertama sebagai penolong persalinan tetapi dukun bayi juga masih diminati. Peran suami cukup menonjol dalam masa kehamilan, persalinan bayi dan nifas. Tradisi budaya Jawa seperti minum jamu, pantang makanan tertentu, pijat untuk kebugaran ibu setelah melahirkan masih mereka jalankan. Nuansa budaya Jawa tercermin pada berbagai ritual budaya yang diwarnai oleh agama (Islam) yaitu mulai dari mitoni (munari), krayanan (brokohan),resikan (walikan) dan kekahan (aqiqah).
Praktik perawatan kehamilan, persalinan bayi dan nifas di lokasi penelitian telah banyak mendukung upaya kesehatan reproduksi antara lain: periksa hamil. Bidan adalah pilihan pertama sebagai penolong persalinan tetapi dukun bayi juga masih diminati. Peran suami cukup menonjol dalam masa kehamilan, persalinan bayi dan nifas. Tradisi budaya Jawa seperti minum jamu, pantang makanan tertentu, pijat untuk kebugaran ibu setelah melahirkan masih mereka jalankan. Nuansa budaya Jawa tercermin pada berbagai ritual budaya yang diwarnai oleh agama (Islam) yaitu mulai dari mitoni (munari), krayanan (brokohan),resikan (walikan) dan kekahan (aqiqah).
Masih diperlukan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi)
yang terus menerus yang bertujuan untuk mempertahankan praktek yang positif dan
mengurangi/ menghilangkan pemahaman nilai-nilai yang tidak mendukung kesehatan
reproduksi.
- KEPUSTAKAAN
Departemen Kesehatan RI. 1998. Pedoman Pelayanan Kebidanan Dasar. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1999. Materi Ajar Modul Safe Motherhood, kerjasama Depkes RI dengan Fakultas Kesehatan masyarakat niversitas Indonesia. - Departemen Kesehatan RI. 2000. Visi Indonesia Sehat 2010. Jakarta.
- Departemen Kesehatan RI. 2001. Rencana Strategis Nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia tahun 2001 – 2010. Jakarta.
- Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Jakarta.
- Departemen Kesehatan RI. 2004. Panduan Marketing Public Relation. Materi MPS, bagian Proyek PUK – SMPPA, Propinsi Jawa Tengah. Semarang.
- Muhammad, Kartono. 1996. Prioritas Pelayanan Kesehatan Reproduksi dalam Seksualitas Kesehatan Reproduksi dan Ketimpangan Gender. Pustaka Sinar Harapan. PPK UGM. Yogyakarta.
- Muis, Fatimah, dkk. 1996. Kualitas Pelayanan Persalinan di Jawa Tengah; Studi di Kotamadya Semarang. Pusat penelitian Kesehatan dan Pusat Studi Wanita Lembag Penelitian Universitas Diponegoro. Semarang.
- Sutresno, Ismail J. 1997. Persepsi perilaku Ibu hamil dan Masyarakat terhadap Resiko kehamilan dan Persalinan di Kabupaten Purworejo. tesis dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis bidang studi Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
- Susilowati, Rini. 2001. Pola Pengambilan Keputusan Keluarga dan Penolong Persalinan dalam Memutuskan Merujuk Ibu Bersalin ke Rumah Sakit pada Kasus Kematian Ibu Bersalin di Kabupaten Semarang. tesis pada Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Sosial Budaya dalam Praktik Perawatan Kehamilan dan Persalinan
Sosial
Budaya dalam Praktik Perawatan Kehamilan dan Persalinan
Background : Reproductive health is focusing
on the reproductive aspect of women which are considerable problems on
sexuality and reproduction, such as ante-natal care, delivery process,
postpartum treatment etc. Maternal mortality rate and infant
mortality rate are some indicators of reproductive health, where in Indonesia
those rate are still high rather than some neighboring countries. Previous
research showed that socio-cultural and demographic factors influence the high
maternal and infant mortality rate. The purpose of this study was to describe
socio- cultural aspect towards ante-natal care, delivery process and post
–partum treatment among Javanese.
Method: The design study was observational with cross sectional approach. The research took place in Jepara Region, Central Java. The population study was women in reproductive age and total number of the sample was 60 women. Data were collected through questionnaire using in – depth interview guide. Socio- cultural factors data were gathered through in-depth interview with health providers, such as doctors, midwives as well as religious people and community leader.
Results: This study found that the majority of the respondents (96.7%) did antenatal care, assisted by doctors or midwifes, accompanied by their husband (76.6%), done every month (48.3%). Midwife is health provider who was mostly chosen by respondents furthermore by traditional birth attendance (18,4%). The accompanying reasons were the distance between the home and the location, skill and the complete of the apparatus. Most of the respondent (93%) accompanied by their husband during birth process. During post- partum period, they took traditional medicine and also massage. This study found that there is no special food has been consumed during antenatal and post-partum period. Ritual activities have done such as mitoni (munari), krayanan (brokohan), resikan (walikan) and kekahan (aqiqah) since pregnancy until post-partum period. (Keywords : Antenatal care, Reproductive health, Postpartum.)
Method: The design study was observational with cross sectional approach. The research took place in Jepara Region, Central Java. The population study was women in reproductive age and total number of the sample was 60 women. Data were collected through questionnaire using in – depth interview guide. Socio- cultural factors data were gathered through in-depth interview with health providers, such as doctors, midwives as well as religious people and community leader.
Results: This study found that the majority of the respondents (96.7%) did antenatal care, assisted by doctors or midwifes, accompanied by their husband (76.6%), done every month (48.3%). Midwife is health provider who was mostly chosen by respondents furthermore by traditional birth attendance (18,4%). The accompanying reasons were the distance between the home and the location, skill and the complete of the apparatus. Most of the respondent (93%) accompanied by their husband during birth process. During post- partum period, they took traditional medicine and also massage. This study found that there is no special food has been consumed during antenatal and post-partum period. Ritual activities have done such as mitoni (munari), krayanan (brokohan), resikan (walikan) and kekahan (aqiqah) since pregnancy until post-partum period. (Keywords : Antenatal care, Reproductive health, Postpartum.)
PENDAHULUAN
Konsep Kesehatan Reproduksi yang diperkenalkan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, Mesir, tahun 1994 yang menekankan kondisi kesehatan yang lengkap tidak sekedar terbebas dari penyakit atau kelemahan fisik, akan tetapi meliputi aspek mental dan sosial, yang berkorelasi dengan bekerjanya fungsi sistem serta proses reproduksi.
Konsep Kesehatan Reproduksi yang diperkenalkan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, Mesir, tahun 1994 yang menekankan kondisi kesehatan yang lengkap tidak sekedar terbebas dari penyakit atau kelemahan fisik, akan tetapi meliputi aspek mental dan sosial, yang berkorelasi dengan bekerjanya fungsi sistem serta proses reproduksi.
Bertolak dari konsep kesehatan reproduksi tersebut,
sasaran program kesehatan reproduksi difokuskan pada wanita sepanjang masa
reproduksinya atau wanita usia subur, yaitu sejak wanita tersebut mendapatkan
menstruasi pertama sampai dengan masa menopause (antara 15 tahun
hingga 49 tahun), baik menikah maupun tidak menikah. Program-program kesehatan
reproduksi meliputi pendidikan kehidupan keluarga, pencegahan kehamilan remaja,
pencegahan penyakit menular seksual, perawatan kehamilan, pertolongan
persalinan, perawatan nifas, pertolongan bayi baru lahir, dan keluarga
berencana yang meliputi pemakaian alat.
kontrasepsi, peningkatan kemandirian ber KB dan
kegiatan-kegiatan yang mendukung Program Pembangunan Keluarga Sejahtera (BKKBN,
1998)
Beberapa kendala masih ditemui di dalam pelaksanaan
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi antara lain adanya
realita tentang kurangnya kesatuan pengertian tentang kesehatan reproduksi,
kurang tersedianya infra strukkur di setiap kabupaten/ kota, adanya variasi
geografis, aspek sosial budaya serta tingkat sosio ekonomi yang relatif
terbatas (BKKBN, 1998).
Salah satu indikator kurang berhasilnya pro- gram
kesehatan reproduksi, ialah relatif masih tingginya angka kematian ibu
melahirkan (AKI). Angka kematian bayi baru lahir (IMR) menurut perkiraan
SDKI tahun 1997 yaitu 25 per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2001)
Angka kematian ibu (AKI) menurut SKRT tahun 1986 adalah 450/ 100.000 kelahiran
hidup mengalami penurunan yang lambat menjadi 373/ 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 1995 dan turun lagi menjadi 51/ 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2001.
Angka ini 3 – 6 kali lebih besar dari negara- negara di ASEAN dan 50 kali lebih
besar angka di negara maju. Indonesia menetapkan target penurunan AKI dari 115/
100.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 75/ 100.000 pada tahun 2015 dan
penurunan angka kematian bayi (AKB) menjadi 35/ 1000 kelahiran hidup di
tahun 2015. (Depkes RI, 2002)
Untuk mengatasi masalah tersebut maka pemerintah
menetapkan target pada tahun 2010 yaitu: 1).menurunkan angka kematian ibu
menjadi 125/100.000 kelahiran hidup, 2). menurunkan angka kematian neonatal
menjadi 15/1000 kelahiran hidup serta target proses dan output diantaranya
adalah meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan trampil menjadi
85% (Depkes RI, 2004). Untuk mencapai tar- get tersebut, strategi yang
diterapkan yaitu Making Pregnancy Safer (MPS) yang
mempunyai visi : semua perempuan di Indonesia dapat menjalani kehamilan dan persalinan
dengan aman serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat (Depkes RI, 2004).
Empat pilar strategi utama MPS yang konsisten dengan
Indonesia Sehat 2010 yaitu :
1). meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir berkualitas yang cost effective dan berdasarkan bukti-bukti yang didukung dengan 2). membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program, lintas sektoral dan mitra lainnya untuk melakukan advokasi guna memaksimalkan sumber daya yang tersedia serta meningkatkan koordinasi perencanaan dan kegiatan MPS, 3). mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan untuk menjamin perilaku sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, 4). mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir (Depkes RI, 2001)
1). meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir berkualitas yang cost effective dan berdasarkan bukti-bukti yang didukung dengan 2). membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program, lintas sektoral dan mitra lainnya untuk melakukan advokasi guna memaksimalkan sumber daya yang tersedia serta meningkatkan koordinasi perencanaan dan kegiatan MPS, 3). mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan untuk menjamin perilaku sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, 4). mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir (Depkes RI, 2001)
Tingginya angka kematian maternal yang berhubungan
dengan kehamilan dan persalinan dipengaruhi oleh faktor- faktor di dalam dan di
luar kesehatan / medis. Pelayanan obstetri yang tepat guna dan
memadai bila tersedia belum menjamin pemanfaatannya oleh masyarakat karena
adanya hambatan jarak , biaya dan budaya. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat
dalam pengenalan tanda bahaya dan pencarian pertolongan profesional seringkali
belum memadai. Di banyak negara berkembang masih ditemukan hambatan akses yaitu
berupa ketidakberdayaan wanita dalam pengambilan keputusan sementara peran
suami, ibu atau mertua sangat dominan dan banyak faktor lain yang menyebabkan
keterlambatan dalam rujukan.
Secara umum dikenal tiga jenis terlambat yaitu
:1).terlambat dalam mengambil keputusan merujuk yang merupakan langkah pertama
untuk menyelamatkan ibu yang mengalami komplikasi obstetri, 2).
terlambat dalam mencapai fasilitas kesehatan yang dipengaruhi oleh jarak,
ketersediaan dan efisiensi sarana trasnportasi serta biayanya, 3). terlambat
dalam memperoleh pertolongan di fasilitas kesehatan yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor : jumlah dan ketrampilan tenaga kesehatan, ketersediaan peralatan,
obat, transfusi darah dan bahan habis pakai serta manajemen dan kondisi
fasilitas pelayanan (Depkes RI, 1999).
Proses reproduksi berawal dari sebelum terjadi konsepsi, sebelum terjadi pembuahan oleh sperma terhadap sel telur, kemudian terjadi konsepsi, hamil, lahir, bayi, remaja, usia produktif dan usia lanjut. Dengan demikian kesehatan reproduksi dimulai sejak masa remaja hingga usia lanjut (Muhammad,1996). Untuk menjamin terjadinya kesehatan reproduksi yang optimal perlu pelayanan kesehatan reproduksi yang berkesinambungan, sejak remaja hingga usia lanjut.
Proses reproduksi berawal dari sebelum terjadi konsepsi, sebelum terjadi pembuahan oleh sperma terhadap sel telur, kemudian terjadi konsepsi, hamil, lahir, bayi, remaja, usia produktif dan usia lanjut. Dengan demikian kesehatan reproduksi dimulai sejak masa remaja hingga usia lanjut (Muhammad,1996). Untuk menjamin terjadinya kesehatan reproduksi yang optimal perlu pelayanan kesehatan reproduksi yang berkesinambungan, sejak remaja hingga usia lanjut.
Kesehatan reproduksi kaum remaja ditekankan pada
kegiatan pendidikan kehidupan keluarga, pencegahan kehamilan remaja dan
pencegahan penyakit menular. Sedang pada masa perkawinan dalam kondisi
produktif kesehatan reproduksi yang perlu diupayakan meliputi perwatan
kehamilan, pertolongan persalinan, perawatan bayi baru lahir, perawatan nifas
dan praktek keluarga berencana, dan upaya-upaya ini sering disebut
sebagai safe-motherhood. Pada masa usia lanjut, kesehatan
reproduksi berkaitan dengan upaya skrining keganasan tumor dan menopause
(Muhammad, 1996).
Kondisi sosial budaya (adat istiadat) dan kondisi
lingkungan (kondisi geografis) berpengaruh terhadap kesehatan
reproduksi. Situasi budaya dalam hal ini adat istiadat saat ini memang tidak
kondusif untuk help seeking behavior dalam masalah kesehatan
reproduksi di Indonesia (Muhammad, 1996). Hal ini dikemukakan berdasarkan
realita, bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya sudah terbiasa menganggap
bahwa kehamilan merupakan suatu hal yang wajar yang tidak memerlukan antenal
care. Hal ini tentu berkaitan pula tentang pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang pentingnya antenal care dan pemeliharaan kesehatan reproduksi
lainnya.
Tingginya angka kematian bayi dan
ibu bersalin serta faktor penyebabnya baik dari segi kesehatan/ medis maupun
diluar kesehatan mendorong penulis untuk meneliti bagaimanakah praktek
perawatan kehamilan, persalinan dan nifas serta deskripsi sosial budayanya.
Karena luasnya bidang kajian kesehatan reproduksi maka dalam tulisan ini
dibatasi pada masa kehamilan yaitu perawatan kehamilan, kelahiran (persalinan)
bayi dan masa nifas (perawatan nifas).
1.
Karakteristik
Responden
Mayoritas responden berumur 20
sampai 29 tahun (43,3%0 dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah lulus SD
(31,7%) dan penghasilan keluarga responden terbanyak adalah Rp.400.000,-
perbulan atau rata-rata dibawah UMR Jawa Tengah.
2.
Praktik
perawatan kehamilan
Hampir semua responden menjawab
pernah melakukan perawatan kehamilan (96,7%)dengan cara memeriksakan diri ke
petugas kesehatan (bidan / dokter) (80%). Sebanyak 20% responden menyatakan
tidak melakukan aktivitas seksual pada saat hamil dan 26,7% lainnya menyatakan
kadang-kadang.Apabila ada keluhan ketika hamil 41,7% memeriksakan diri ke
petugas kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan pemeriksaan kehamilan pada
tri-mester pertama sebanyak 48,3%, sedangkan 23,3% lainnya memeriksakan diri
dua kali dan sebanyak 13,4% responden memeriksakan kehamilan setiap yang
dikarenakan gangguan kehamilan seperti mual dan muntah. Menurut Depkes RI
(1998) frekuensi pelayanan ANC
yang dianjurkan minimal 4 kali selama kehamilan
yaitu: minimal 1 kali pada tribulan pertama, mini- mal 1 kali pada tribulan
kedua dan minimal 2 kali pada tribulan ketiga. Sebanyak 36,6% responden
melakukan pantang makanan tertentu karena diperkirakan akan mengganggu diri dan
janinnya. Hal yang menggembirakan adalah keterlibatan suami dalam periksa kehamilan
cukup besar yaitu 76,6%.
3.
Praktik
Persalinan
Bidan paling banyak dipilih oleh
responden sebagai penolong persalinan (63,3%) disusul dengan dukun bayi
(18,4%). Beberapa alasan yang dikemukakan oleh responden terhadap penolong
persalinan yaitu faktor pengalaman kerja (33,3%), kompeten dalam bidangnya
(30%), sedangkan 35% lainnya mempunyai alasan pengalaman pertolongan persalinan
sebelumnya, pelayanan lengkap (terutata dukun bayi) dan alasan keterdekatan
dengan rumah responden. Lokasi tempat pelayanan (kedekatan dengan tempat
tinggal) serta peralatan lengkap dan tenaga trampil merupakan alasan terbanyak
mengapa mereka memilih sarana pelayanan. Walaupun ada 43,3% yang menyatakan
setuju dilayani oleh dokter
/ bidan
perempuan tetapi ada 50% lainnya yang tidak memasalahkan bila dilayani
oleh dokter pria. Hal yang menggembirakan, senada dengan keterlibatan suami
dalam periksa kehamilan, hampir semua responden (93,4%) menyatakan suami mereka
berpartisipasi dalam menyambut persalinan bayi mereka.
4.
Praktik perawatan nifas
Dalam hal praktek perawatan selama
masa nifas (setelah ibu melahirkan sampai dengan sekitar 35- 40 hari) beberapa
data dapat dipaparkan. Minum jamu yang merupakan kebiasaan sebagian masyarakat
suku Jawa juga dilakukan oleh hampir semua responden saat nifas. Hanya
satu orang (1,7%) yang dengan jujur menyatakan melakukan hubungan seksual saat
nifas, walaupun ini tidak dianjurkan oleh kesehatan dan juga agama (Islam).
Selama masa nifas sebagian responden (41,7%) berpantang mengkonsumsi daging dan
ikan. Pijat badan untuk mengembalikan kebugaran tubuh setelah bersalin
dilakukan oleh 83,3% responden.
Langganan:
Postingan (Atom)