5. Deskripsi kondisi sosial budaya
setempat
Masyarakat memiliki kebudayaan yang mencakup aturan –
aturan, norma – norma, pandangan hidup yang dijadikan acuan dalam mengatur
perilaku kehidupan bermasyarakat. Pada masyarakat Jawa yang menganut pola garis
keturunan patrilineal maka dalam adat kebiasaan keluarga, peranan suami
/ ayah sangat berpengaruh. ayah / suami sebagai kepala rumah tangga adalah
perantara dalam penentuan nasib termasuk yang menguasai sumber-sumber ekonomi
keluarga (Herkovits dalam Susilowati, 2001).
Dalam masyarakat Jawa, kehamilan (dan kemudian
kelahiran bayi) merupakan peristiwa yang penting dalam siklus hidup manusia.
Oleh karena itu ibu dan keluarga melakukan serangkaian aktivitas ritual untuk
menyambutnya. Faktor kekerabatan (suami, orang tua, nenek) masih memberikan
peran yang penting dalam tindakan-tindakan si ibu berkaitan dengan kehamilan,
persalinan dan pasca persalinan, baik dalam memberikan nasehat (karena mereka
sudah berpengalaman menjalani peristiwa tersebut) maupun pengambilan keputusan
siapa penolong persalinan dan sarana pelayanan apakah yang akan
dipergunakan.
Selama kehamilan, biasanya ibu akan melakukan berbagai
upaya agar bayi dan ibunya sehat dan dapat bersalin dengan selamat, nor- mal
dan tidak cacat. Sebagian masyarakat masih berpantang makan makanan tertentu
seperti udang atau kepiting dan buah nanas, walaupun menurut kesehatan
pantangan makanan tertentu tidak dibenarkan apalagi kalau makanan tersebut
bergizi. Selama kehamilan juga ada pantangan yang harus diperhatikan ibu dan
bapak misal: tidak boleh menyiksa atau membunuh binatang dan tidak boleh
mengejek orang yang cacat supaya si bayi dapat lahir dengan selamat dan
tidak cacat. Terutama keluarga dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi,
seiring dengan kemajuan jaman sudah banyak yang tidak mempercayainya begitu
juga dengan sebagian responden penelitian.
Informan/ responden dari tokoh masyarakat, tokoh agama
dan PLKB menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat masih memperingati
upacara 7 bulan bayi dalam kandungan khususnya bagi anak pertama, termasuk
sebagian besar responden ibu yang telah diwawancarai. Di daerah lain pada suku
Jawa upacara tersebut disebut mitoni, sedangkan di Kabupaten Jepara
disebut munari. Munari merupakan upacara selamatan dengan nasi tumpeng
yang puncaknya adalah nasi ketan berwarna kuning yang diibaratkan cahaya
sebagai simbol bahwa pada usia kehamilan ketujuh si janin sudah mempunyai roh
atau nyawa. Acara munari ini seringkali dilengkapi dengan upacara seperti
halnya mitoni yaitu si ibu ganti kain tujuh kali, memecahkan kelapa gading yang
berukir gambar tokoh wayang Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih (dua dewa / dewi
dalam pewayangan yang terkenal ketampanan dan kecantikannya) dengan harapan si
bayi nantinya akan tampan seperti Dewa Kamajaya dan cantik seperti DewiKamaratih. Upacara ini seringkali dipimpin oleh dukun bayi atau orang yang
dituakan di dalam keluarga tersebut. Di dalam upacara tersebut suami harus
terlibat dalam rangkaian upacara.
Keterlibatan/ partisipasi suami selama masa
kehamilan istri cukup besar baik dalam bentuk aktivitas mengantar istri
memeriksakan kandungan ke bidan / dokter, berusaha memenuhi keinginan istri
yang sedang nyidam maupun mengingatkan agar istrinya lebih banyak makan makanan
yang bergizi. Para suami terutama yang berpendidikan cukup tinggi cenderung
melarang bila istrinya berpantang makanan tertentu. Menurut pandangan mereka,
sepanjang yang dimakan ibu hamil memenuhi kriteria sehat dan bergizi baik untuk
ibu dan bayi maka tidak dibenarkan untuk berpantang walaupun pada masyarakat
sekitar masih berlaku pantangan makan makanan tertentu atau bertingkah laku
tertentu pada saat istrinya hamil.
Muis (1996) dalam penelitiannya di Kota Semarang
menyebutkan bahwa para orang tua/ mertua sangat berperan dalam menentukan,
menasehati dan menyarankan anaknya/ menantunya untuk periksa hamil pada bidan
atau memilih dukun bayi sebagai penolong persalinan. Sutrisno (1997)
dalam penelitiannya di Kabupaten Purworejo juga mengungkapkan bahwa suami,
orang tua dan mertua adalah anggota kelompok referensi yang paling sering
memberikan anjuran memilih tenaga penolong persalinan. Susilowati (2001)
dalam penelitiannya di Kabupaten Semarang juga menemukan bahwa suami sangat
dominan dalam pengambilan keputusan rumah tangga sehari-hari, tetapi dalam
menentukan penolong persalinan dan tempat bersalin yang dominan adalah orang
tua dan mertua. Pada saat menghadapi masalah medis persalinan masih diperlukan
musyawarah keluarga untuk merujuk ibu bersalin ke rumah sakit.
Menurut responden tokoh masyarakat dan tokoh agama,
kelahiran bayi adalah suatu peristiwa yang perlu dirayakan dengan upacara
tertentu. Masyarakat Kabupaten Jepara yang mayoritas beragama Islam biasa
melakukan serangkaian acara mulai dari pembacaan adzan pada telinga
kanan bayi sesaat setelah kelahirannya, dilanjutkan dengan pencucian plasenta
bayi atau ari-ari, diberi doa dan dan dimasukkan dalam wadah
tertutup dari tanah liat dan diberi kembang telon (bunga tiga warna) dan
dikuburkan di depan rumah/ teras serta diterangi sentir/ teplok
(lampu minyak) pada malam hari. Pelaku dari semua upacara ini adalah suami
dari istri yang baru saja melahirkan. Berdasarkan pengamatan di depan rumah
beberapa rumah responden ,yang kebetulan baru beberapa hari melahirkan,
terdapat gundukan tanah yang ditutupi dengan pagar dari bambu dan diberi lampu
minyak dan mereka menjelaskan bahwa plasenta bayi telah mereka kuburkan di
situ.
Di daerah Jepara dikenal upacara krayanan atau brokohan
atau selapanan yaitu upacara pada saat bayi berusia 35 hari untuk
memberi nama bayi dengan cara berdoa bersama dan bancakan atau selamatan
dengan nasi urap / sego gudangan rambanan reno pitu .
Bersamaan dengan upacara krayanan tersebut juga diadakan upacara adat walikan
atau resikan. Upacara ini lebih ditujukan untuk si ibu bayi
karena sudah selesai menjalani masa nifas dan siap untuk melayani suaminya
kembali. Pada saat selamatan itu si ibu dirias secantik mungkin. Di dalam
upacara ini kehadiran dukun bayi juga penting, terutama bila mereka yang menolong
kelahiran bayinya.
Menurut responden, dukun bayi dirasakan
mempunyai beberapa kelebihan disbanding bidan / dokter yaitu dukun bayi mampu
memberikan pelayanan yang paripurna mulai dari menolong persalinan sampai
memimpin upacara kelahiran bayi. Dukun bayi juga siap setiap saat dibutuhkan,
memberikan rasa nyaman dan aman karena mereka kebanyakan dituakan, begitu juga
hubungan kekeluargaan membuat kehadiran dukun bayi dalam hal tertentu sulit
digantikan oleh bidan. Kepala Puskesmas dan bidan serta PLKB yang
diwawancarai menyadari bahwa dukun bayi masih dibutuhkan oleh masyarakat, oleh
karena itu program pelatihan dukun bayi dan pembinaan serta pendampingan oleh
bidan Puskesmas merupakan program yang terus dijalankan. Di sisi lain mereka
mengupayakan peningkatan peran bidan dan bidan di desa (BDD) tetapi
mengusahakan agar tidak lahir dukun bayi baru karena adanya target cakupan
tertentu dari ANC dan persalinan oleh tenaga kesehatan serta eliminasi
tetanus neonatorum (ETN) yang harus diupayakan menjadi angka nol.
Pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak bersih dan steril merupakan
salah satu penyebab utama adanya tetanus neonatorum. Dukun yang belum
dilatih seringkali melakukan pemotongan dan perawatan tali pusat secara tidak
higienis seperti diberi kunyit atau apu (kapur gamping yang basah),
tetapi saat ini hal tersebut hampir tidak pernah ditemui karena semua dukun
bayi di desa lokasi penelitian sudah dilatih oleh Puskesmas.
Nuansa Islam yang cukup kuat mewarnai adat dengan
adanya upacara kekahan atau aqiqah yaitu ungkapan rasa bersyukur
pada Tuhan YME atas anugerah anak dan sebagai salah satu kewajiban orang tua
dalam ajaran Islam terhadap anaknya. Pada acara kekahan ini untuk anak
laki-laki akan disembelih dua ekor kambing, sedangkan bila anak perempuan cukup
satu ekor kambing. Daging yang sudah dimasak dibagikan kepada para tamu dan
tetangga.Adat kekahan tidak mesti harus segera dilakukan setelah bayi lahir
tetapi bisa sampai dengan menjelang remaja. Kekahan biasanya dilakukan oleh
keluarga yang cukup mampu.
Perilaku positif lainnya yang masih dijalankan seperti
halnya kebiasaan para ibu dari suku Jawa setelah melahirkan yaitu kebiasaan
minum jamu dengan tujuan agar ASI mereka lancar serta untuk menjaga
kesehatan dan kebugaran ibu. Jamu wejah diminum agar ASI lancar dan jamu
beras kencur agar badan tidak terasa capek dan jamu pilis yang
ditempelkan di dahi agar kepala terasa ringan dan tidak pusing. Selama masa
nifas ada pantangan berhubungan seksual. Hal positif ini sejalan dengan
kesehatan dan larangan dalam agama Islam yang mayoritas mereka anut.
Perilaku yang kurang mendukung selama masa nifas
yaitu pantang makanan tertentu yang lebih dikaitkan dengan si bayi antara lain
agar ASI tidak berbau amis antara lain daging dan ikan laut. Kebiasaan kurang
baik lainnya yang masih ada yaitu bayi digedhong atau membungkus bayi
dengan jarik (kain batik pelengkap busana kebaya) agar bayi hangat dan
diam. Bila hal ini dilakukan terus menerus akan berpengaruh pada aktivitas bayi
dan pertumbuhan tulangnya.
Apabila bayi lahir cacat (bibir sumbing) atau bayi
lahir dengan sungsang yang dahulu seringkali dikaitkan dengan kesalahan masa
lalu orang tuanya atau orang tuanya melanggar pantangan tertentu maka sebagian
besar responden menganggap hal tersebut tidak benar. Bayi lahir sungsang atau
bibir bayi sumbing mereka percayai semata-mata karena masalah kesehatan.
SIMPULAN
Praktik perawatan kehamilan, persalinan bayi dan nifas di lokasi penelitian telah banyak mendukung upaya kesehatan reproduksi antara lain: periksa hamil. Bidan adalah pilihan pertama sebagai penolong persalinan tetapi dukun bayi juga masih diminati. Peran suami cukup menonjol dalam masa kehamilan, persalinan bayi dan nifas. Tradisi budaya Jawa seperti minum jamu, pantang makanan tertentu, pijat untuk kebugaran ibu setelah melahirkan masih mereka jalankan. Nuansa budaya Jawa tercermin pada berbagai ritual budaya yang diwarnai oleh agama (Islam) yaitu mulai dari mitoni (munari), krayanan (brokohan),resikan (walikan) dan kekahan (aqiqah).
Praktik perawatan kehamilan, persalinan bayi dan nifas di lokasi penelitian telah banyak mendukung upaya kesehatan reproduksi antara lain: periksa hamil. Bidan adalah pilihan pertama sebagai penolong persalinan tetapi dukun bayi juga masih diminati. Peran suami cukup menonjol dalam masa kehamilan, persalinan bayi dan nifas. Tradisi budaya Jawa seperti minum jamu, pantang makanan tertentu, pijat untuk kebugaran ibu setelah melahirkan masih mereka jalankan. Nuansa budaya Jawa tercermin pada berbagai ritual budaya yang diwarnai oleh agama (Islam) yaitu mulai dari mitoni (munari), krayanan (brokohan),resikan (walikan) dan kekahan (aqiqah).
Masih diperlukan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi)
yang terus menerus yang bertujuan untuk mempertahankan praktek yang positif dan
mengurangi/ menghilangkan pemahaman nilai-nilai yang tidak mendukung kesehatan
reproduksi.
- KEPUSTAKAAN
Departemen Kesehatan RI. 1998. Pedoman Pelayanan Kebidanan Dasar. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1999. Materi Ajar Modul Safe Motherhood, kerjasama Depkes RI dengan Fakultas Kesehatan masyarakat niversitas Indonesia. - Departemen Kesehatan RI. 2000. Visi Indonesia Sehat 2010. Jakarta.
- Departemen Kesehatan RI. 2001. Rencana Strategis Nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia tahun 2001 – 2010. Jakarta.
- Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Jakarta.
- Departemen Kesehatan RI. 2004. Panduan Marketing Public Relation. Materi MPS, bagian Proyek PUK – SMPPA, Propinsi Jawa Tengah. Semarang.
- Muhammad, Kartono. 1996. Prioritas Pelayanan Kesehatan Reproduksi dalam Seksualitas Kesehatan Reproduksi dan Ketimpangan Gender. Pustaka Sinar Harapan. PPK UGM. Yogyakarta.
- Muis, Fatimah, dkk. 1996. Kualitas Pelayanan Persalinan di Jawa Tengah; Studi di Kotamadya Semarang. Pusat penelitian Kesehatan dan Pusat Studi Wanita Lembag Penelitian Universitas Diponegoro. Semarang.
- Sutresno, Ismail J. 1997. Persepsi perilaku Ibu hamil dan Masyarakat terhadap Resiko kehamilan dan Persalinan di Kabupaten Purworejo. tesis dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis bidang studi Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
- Susilowati, Rini. 2001. Pola Pengambilan Keputusan Keluarga dan Penolong Persalinan dalam Memutuskan Merujuk Ibu Bersalin ke Rumah Sakit pada Kasus Kematian Ibu Bersalin di Kabupaten Semarang. tesis pada Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar