Sosial
Budaya dalam Praktik Perawatan Kehamilan dan Persalinan
Background : Reproductive health is focusing
on the reproductive aspect of women which are considerable problems on
sexuality and reproduction, such as ante-natal care, delivery process,
postpartum treatment etc. Maternal mortality rate and infant
mortality rate are some indicators of reproductive health, where in Indonesia
those rate are still high rather than some neighboring countries. Previous
research showed that socio-cultural and demographic factors influence the high
maternal and infant mortality rate. The purpose of this study was to describe
socio- cultural aspect towards ante-natal care, delivery process and post
–partum treatment among Javanese.
Method: The design study was observational with cross sectional approach. The research took place in Jepara Region, Central Java. The population study was women in reproductive age and total number of the sample was 60 women. Data were collected through questionnaire using in – depth interview guide. Socio- cultural factors data were gathered through in-depth interview with health providers, such as doctors, midwives as well as religious people and community leader.
Results: This study found that the majority of the respondents (96.7%) did antenatal care, assisted by doctors or midwifes, accompanied by their husband (76.6%), done every month (48.3%). Midwife is health provider who was mostly chosen by respondents furthermore by traditional birth attendance (18,4%). The accompanying reasons were the distance between the home and the location, skill and the complete of the apparatus. Most of the respondent (93%) accompanied by their husband during birth process. During post- partum period, they took traditional medicine and also massage. This study found that there is no special food has been consumed during antenatal and post-partum period. Ritual activities have done such as mitoni (munari), krayanan (brokohan), resikan (walikan) and kekahan (aqiqah) since pregnancy until post-partum period. (Keywords : Antenatal care, Reproductive health, Postpartum.)
Method: The design study was observational with cross sectional approach. The research took place in Jepara Region, Central Java. The population study was women in reproductive age and total number of the sample was 60 women. Data were collected through questionnaire using in – depth interview guide. Socio- cultural factors data were gathered through in-depth interview with health providers, such as doctors, midwives as well as religious people and community leader.
Results: This study found that the majority of the respondents (96.7%) did antenatal care, assisted by doctors or midwifes, accompanied by their husband (76.6%), done every month (48.3%). Midwife is health provider who was mostly chosen by respondents furthermore by traditional birth attendance (18,4%). The accompanying reasons were the distance between the home and the location, skill and the complete of the apparatus. Most of the respondent (93%) accompanied by their husband during birth process. During post- partum period, they took traditional medicine and also massage. This study found that there is no special food has been consumed during antenatal and post-partum period. Ritual activities have done such as mitoni (munari), krayanan (brokohan), resikan (walikan) and kekahan (aqiqah) since pregnancy until post-partum period. (Keywords : Antenatal care, Reproductive health, Postpartum.)
PENDAHULUAN
Konsep Kesehatan Reproduksi yang diperkenalkan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, Mesir, tahun 1994 yang menekankan kondisi kesehatan yang lengkap tidak sekedar terbebas dari penyakit atau kelemahan fisik, akan tetapi meliputi aspek mental dan sosial, yang berkorelasi dengan bekerjanya fungsi sistem serta proses reproduksi.
Konsep Kesehatan Reproduksi yang diperkenalkan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, Mesir, tahun 1994 yang menekankan kondisi kesehatan yang lengkap tidak sekedar terbebas dari penyakit atau kelemahan fisik, akan tetapi meliputi aspek mental dan sosial, yang berkorelasi dengan bekerjanya fungsi sistem serta proses reproduksi.
Bertolak dari konsep kesehatan reproduksi tersebut,
sasaran program kesehatan reproduksi difokuskan pada wanita sepanjang masa
reproduksinya atau wanita usia subur, yaitu sejak wanita tersebut mendapatkan
menstruasi pertama sampai dengan masa menopause (antara 15 tahun
hingga 49 tahun), baik menikah maupun tidak menikah. Program-program kesehatan
reproduksi meliputi pendidikan kehidupan keluarga, pencegahan kehamilan remaja,
pencegahan penyakit menular seksual, perawatan kehamilan, pertolongan
persalinan, perawatan nifas, pertolongan bayi baru lahir, dan keluarga
berencana yang meliputi pemakaian alat.
kontrasepsi, peningkatan kemandirian ber KB dan
kegiatan-kegiatan yang mendukung Program Pembangunan Keluarga Sejahtera (BKKBN,
1998)
Beberapa kendala masih ditemui di dalam pelaksanaan
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi antara lain adanya
realita tentang kurangnya kesatuan pengertian tentang kesehatan reproduksi,
kurang tersedianya infra strukkur di setiap kabupaten/ kota, adanya variasi
geografis, aspek sosial budaya serta tingkat sosio ekonomi yang relatif
terbatas (BKKBN, 1998).
Salah satu indikator kurang berhasilnya pro- gram
kesehatan reproduksi, ialah relatif masih tingginya angka kematian ibu
melahirkan (AKI). Angka kematian bayi baru lahir (IMR) menurut perkiraan
SDKI tahun 1997 yaitu 25 per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2001)
Angka kematian ibu (AKI) menurut SKRT tahun 1986 adalah 450/ 100.000 kelahiran
hidup mengalami penurunan yang lambat menjadi 373/ 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 1995 dan turun lagi menjadi 51/ 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2001.
Angka ini 3 – 6 kali lebih besar dari negara- negara di ASEAN dan 50 kali lebih
besar angka di negara maju. Indonesia menetapkan target penurunan AKI dari 115/
100.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 75/ 100.000 pada tahun 2015 dan
penurunan angka kematian bayi (AKB) menjadi 35/ 1000 kelahiran hidup di
tahun 2015. (Depkes RI, 2002)
Untuk mengatasi masalah tersebut maka pemerintah
menetapkan target pada tahun 2010 yaitu: 1).menurunkan angka kematian ibu
menjadi 125/100.000 kelahiran hidup, 2). menurunkan angka kematian neonatal
menjadi 15/1000 kelahiran hidup serta target proses dan output diantaranya
adalah meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan trampil menjadi
85% (Depkes RI, 2004). Untuk mencapai tar- get tersebut, strategi yang
diterapkan yaitu Making Pregnancy Safer (MPS) yang
mempunyai visi : semua perempuan di Indonesia dapat menjalani kehamilan dan persalinan
dengan aman serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat (Depkes RI, 2004).
Empat pilar strategi utama MPS yang konsisten dengan
Indonesia Sehat 2010 yaitu :
1). meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir berkualitas yang cost effective dan berdasarkan bukti-bukti yang didukung dengan 2). membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program, lintas sektoral dan mitra lainnya untuk melakukan advokasi guna memaksimalkan sumber daya yang tersedia serta meningkatkan koordinasi perencanaan dan kegiatan MPS, 3). mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan untuk menjamin perilaku sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, 4). mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir (Depkes RI, 2001)
1). meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir berkualitas yang cost effective dan berdasarkan bukti-bukti yang didukung dengan 2). membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program, lintas sektoral dan mitra lainnya untuk melakukan advokasi guna memaksimalkan sumber daya yang tersedia serta meningkatkan koordinasi perencanaan dan kegiatan MPS, 3). mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan untuk menjamin perilaku sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, 4). mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir (Depkes RI, 2001)
Tingginya angka kematian maternal yang berhubungan
dengan kehamilan dan persalinan dipengaruhi oleh faktor- faktor di dalam dan di
luar kesehatan / medis. Pelayanan obstetri yang tepat guna dan
memadai bila tersedia belum menjamin pemanfaatannya oleh masyarakat karena
adanya hambatan jarak , biaya dan budaya. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat
dalam pengenalan tanda bahaya dan pencarian pertolongan profesional seringkali
belum memadai. Di banyak negara berkembang masih ditemukan hambatan akses yaitu
berupa ketidakberdayaan wanita dalam pengambilan keputusan sementara peran
suami, ibu atau mertua sangat dominan dan banyak faktor lain yang menyebabkan
keterlambatan dalam rujukan.
Secara umum dikenal tiga jenis terlambat yaitu
:1).terlambat dalam mengambil keputusan merujuk yang merupakan langkah pertama
untuk menyelamatkan ibu yang mengalami komplikasi obstetri, 2).
terlambat dalam mencapai fasilitas kesehatan yang dipengaruhi oleh jarak,
ketersediaan dan efisiensi sarana trasnportasi serta biayanya, 3). terlambat
dalam memperoleh pertolongan di fasilitas kesehatan yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor : jumlah dan ketrampilan tenaga kesehatan, ketersediaan peralatan,
obat, transfusi darah dan bahan habis pakai serta manajemen dan kondisi
fasilitas pelayanan (Depkes RI, 1999).
Proses reproduksi berawal dari sebelum terjadi konsepsi, sebelum terjadi pembuahan oleh sperma terhadap sel telur, kemudian terjadi konsepsi, hamil, lahir, bayi, remaja, usia produktif dan usia lanjut. Dengan demikian kesehatan reproduksi dimulai sejak masa remaja hingga usia lanjut (Muhammad,1996). Untuk menjamin terjadinya kesehatan reproduksi yang optimal perlu pelayanan kesehatan reproduksi yang berkesinambungan, sejak remaja hingga usia lanjut.
Proses reproduksi berawal dari sebelum terjadi konsepsi, sebelum terjadi pembuahan oleh sperma terhadap sel telur, kemudian terjadi konsepsi, hamil, lahir, bayi, remaja, usia produktif dan usia lanjut. Dengan demikian kesehatan reproduksi dimulai sejak masa remaja hingga usia lanjut (Muhammad,1996). Untuk menjamin terjadinya kesehatan reproduksi yang optimal perlu pelayanan kesehatan reproduksi yang berkesinambungan, sejak remaja hingga usia lanjut.
Kesehatan reproduksi kaum remaja ditekankan pada
kegiatan pendidikan kehidupan keluarga, pencegahan kehamilan remaja dan
pencegahan penyakit menular. Sedang pada masa perkawinan dalam kondisi
produktif kesehatan reproduksi yang perlu diupayakan meliputi perwatan
kehamilan, pertolongan persalinan, perawatan bayi baru lahir, perawatan nifas
dan praktek keluarga berencana, dan upaya-upaya ini sering disebut
sebagai safe-motherhood. Pada masa usia lanjut, kesehatan
reproduksi berkaitan dengan upaya skrining keganasan tumor dan menopause
(Muhammad, 1996).
Kondisi sosial budaya (adat istiadat) dan kondisi
lingkungan (kondisi geografis) berpengaruh terhadap kesehatan
reproduksi. Situasi budaya dalam hal ini adat istiadat saat ini memang tidak
kondusif untuk help seeking behavior dalam masalah kesehatan
reproduksi di Indonesia (Muhammad, 1996). Hal ini dikemukakan berdasarkan
realita, bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya sudah terbiasa menganggap
bahwa kehamilan merupakan suatu hal yang wajar yang tidak memerlukan antenal
care. Hal ini tentu berkaitan pula tentang pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang pentingnya antenal care dan pemeliharaan kesehatan reproduksi
lainnya.
Tingginya angka kematian bayi dan
ibu bersalin serta faktor penyebabnya baik dari segi kesehatan/ medis maupun
diluar kesehatan mendorong penulis untuk meneliti bagaimanakah praktek
perawatan kehamilan, persalinan dan nifas serta deskripsi sosial budayanya.
Karena luasnya bidang kajian kesehatan reproduksi maka dalam tulisan ini
dibatasi pada masa kehamilan yaitu perawatan kehamilan, kelahiran (persalinan)
bayi dan masa nifas (perawatan nifas).
1.
Karakteristik
Responden
Mayoritas responden berumur 20
sampai 29 tahun (43,3%0 dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah lulus SD
(31,7%) dan penghasilan keluarga responden terbanyak adalah Rp.400.000,-
perbulan atau rata-rata dibawah UMR Jawa Tengah.
2.
Praktik
perawatan kehamilan
Hampir semua responden menjawab
pernah melakukan perawatan kehamilan (96,7%)dengan cara memeriksakan diri ke
petugas kesehatan (bidan / dokter) (80%). Sebanyak 20% responden menyatakan
tidak melakukan aktivitas seksual pada saat hamil dan 26,7% lainnya menyatakan
kadang-kadang.Apabila ada keluhan ketika hamil 41,7% memeriksakan diri ke
petugas kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan pemeriksaan kehamilan pada
tri-mester pertama sebanyak 48,3%, sedangkan 23,3% lainnya memeriksakan diri
dua kali dan sebanyak 13,4% responden memeriksakan kehamilan setiap yang
dikarenakan gangguan kehamilan seperti mual dan muntah. Menurut Depkes RI
(1998) frekuensi pelayanan ANC
yang dianjurkan minimal 4 kali selama kehamilan
yaitu: minimal 1 kali pada tribulan pertama, mini- mal 1 kali pada tribulan
kedua dan minimal 2 kali pada tribulan ketiga. Sebanyak 36,6% responden
melakukan pantang makanan tertentu karena diperkirakan akan mengganggu diri dan
janinnya. Hal yang menggembirakan adalah keterlibatan suami dalam periksa kehamilan
cukup besar yaitu 76,6%.
3.
Praktik
Persalinan
Bidan paling banyak dipilih oleh
responden sebagai penolong persalinan (63,3%) disusul dengan dukun bayi
(18,4%). Beberapa alasan yang dikemukakan oleh responden terhadap penolong
persalinan yaitu faktor pengalaman kerja (33,3%), kompeten dalam bidangnya
(30%), sedangkan 35% lainnya mempunyai alasan pengalaman pertolongan persalinan
sebelumnya, pelayanan lengkap (terutata dukun bayi) dan alasan keterdekatan
dengan rumah responden. Lokasi tempat pelayanan (kedekatan dengan tempat
tinggal) serta peralatan lengkap dan tenaga trampil merupakan alasan terbanyak
mengapa mereka memilih sarana pelayanan. Walaupun ada 43,3% yang menyatakan
setuju dilayani oleh dokter
/ bidan
perempuan tetapi ada 50% lainnya yang tidak memasalahkan bila dilayani
oleh dokter pria. Hal yang menggembirakan, senada dengan keterlibatan suami
dalam periksa kehamilan, hampir semua responden (93,4%) menyatakan suami mereka
berpartisipasi dalam menyambut persalinan bayi mereka.
4.
Praktik perawatan nifas
Dalam hal praktek perawatan selama
masa nifas (setelah ibu melahirkan sampai dengan sekitar 35- 40 hari) beberapa
data dapat dipaparkan. Minum jamu yang merupakan kebiasaan sebagian masyarakat
suku Jawa juga dilakukan oleh hampir semua responden saat nifas. Hanya
satu orang (1,7%) yang dengan jujur menyatakan melakukan hubungan seksual saat
nifas, walaupun ini tidak dianjurkan oleh kesehatan dan juga agama (Islam).
Selama masa nifas sebagian responden (41,7%) berpantang mengkonsumsi daging dan
ikan. Pijat badan untuk mengembalikan kebugaran tubuh setelah bersalin
dilakukan oleh 83,3% responden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar